Senin, 07 Juni 2010

penelitian Nbi agung muhmammad menikai gadis di bawah umur ?


BENARKAH NABI MENIKAHI GADIS DI BAWAH UMUR?
23 February 2009 :  :  No Comment
Oleh Yusuf Hanafi (PIQ)
> Kaum Muslim seringkali disudutkan oleh pertanyaan berikut,
“Akankah Anda menikahkan puteri Anda yang baru berumur 7 atau 9
tahun dengan seorang lelaki  tua yang telah berusia 50 tahun?�
Mereka mungkin akan terdiam karena bingung atau malah marah karena
tersinggung. Lalu, pertanyaannya selanjutnya adalah, “Jika Anda
tidak akan melakukannya, bagaimana Anda bisa menyetujui pernikahan
gadis ingusan berusia 7 atau 9 tahun bernama ‘Aisyah dengan Nabi
Anda, Muhammad bin ‘Abdillah?�
> Mayoritas umat Islam mungkin akan menjawab bahwa “menikahi gadis
di bawah umur� seperti kasus di atas dapat diterima oleh masyarakat
Arab kala itu. Jika tidak, masyarakat tentu akan keberatan dengan
pernikahan Nabi Muhammad dengan ‘Aisyah, puteri dari Abu Bakr
al-Shiddiq yang masih kanak-kanak.
> Nabi Muhammad merupakan uswah hasanah (teladan yang baik) bagi
seluruh umat Islam—di mana perilaku, tindakan, dan peri kehidupannya
selalu dijadikan sebagai acuan dan rujukan. Namun sekali lagi, dalam
konteks �menikahi gadis di bawah umur ini�, kaum Muslim seolah
dihadapkan pada pilihan sikap yang dilematis. Sebab bagaimana pun,
mayoritas Muslim takkan pernah berpikir—apalagi melakukan
tindakan—menikahkan anak perempuannya yang baru berusia 7 atau 9
tahun dengan seorang pria dewasa yang lebih pantas menjadi bapak atau
bahkan kakeknya. Jikalau ada orang tua yang setuju dengan pernikahan
seperti itu, kebanyakan orang, meski tidak semua, akan mencibir dan
memandang sinis terhadapnya, terlebih kepada pria uzur yang tega
menikahi bocah di bawah umur.
> Belum lama ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh pemberitaan
perihal kasus pernikahan gadis di bawah umur. Pujiono Cahyo Widianto,
seorang miliarder beristeri satu dan berusia 43 tahun asal Semarang
yang lebih populer disapa Syekh Puji menikahi seorang bocah berusia 12
tahun bernama Lutviana Ulfa pada 8 Agustus 2008 lalu. Lebih heboh
lagi, Syekh Puji yang juga berstatus sebagai pengasuh Ponpes Miftahul
Jannah itu berencana menikahi dua gadis ingusan lain dalam waktu yang
tidak terlalu lama untuk mengenapkan jumlah bilangan isteri yang
dikoleksinya menjadi 4 (empat).
> Ketika berita itu merebak ke permukaan, pro-kontra pun segera
bermunculan. Mayoritas menolaknya sekaligus menuding Syekh Puji
mengidap paedophilia, yaitu karakter kejiwaan yang mempunyai
ketertarikan seksual terhadap anak di bawah umur. Tak ketinggalan, MUI
juga menfatwakan perihal keharaman tindakan Syekh Puji yang mengawini
gadis ingusan di bawah umur itu.
> Syekh Puji tak tinggal diam. Dia berdalih bahwa tindakannya itu
sesuai dengan tuntunan syariat karena pernah dicontohkan oleh Nabi
Muhammad tatkala menikahi ‘Aisyah. Syekh Puji tak sendiri. Pembelaan
untuknya, di antaranya, datang dari Fauzan al-Anshari (Kepala
Departemen Data dan Informasi MMI) dan Puspo Wardoyo (pemilik Rumah
Makan Wong Solo yang pernah memperoleh Poligami Award). Keduanya malah
berujar lantang, umat Islam yang mengingkari pernikahan seperti itu
berarti mengingkari sunnah Nabi, dan pada gilirannya akan membahayakan
keimanannya.
> Merespon polemik tersebut, tulisan ini akan menelaah sekaligus
menguji kembali catatan-catatan klasik yang dipakai sebagai dasar
keabsahan menikahi gadis di bawah umur. Harapannya, akan diperoleh
pandangan yang obyektif dan berimbang dalam menyikapinya.
> Â
> Kontradiksi Seputar Usia ‘Aisyah
> Sebagian besar hadis yang mengisahkan pernikahan Nabi dengan
‘Aisyah diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah. Hadis-hadis tersebut,
antara lain: “Khadijah wafat 3 tahun sebelum hijrah Nabi ke Madinah.
Rasul SAW sempat menduda kurang lebih 2 tahun sampai kemudian menikahi
‘Aisyah yang kala itu berusia 6 tahun. Namun Nabi SAW baru hidup
serumah dengan ‘Aisyah saat gadis cilik itu telah menapaki usia 9
tahun� (HR. Al-Bukhari).
> Riwayat lain yang menceritakan hal serupa dengan informasi sedikit
berbeda adalah: “Nabi SAW meminang ‘Aisyah di usia 7 tahun dan
menikahinya  pada usia 9 tahun. Seringkali Nabi SAW mengajaknya
bermain. Tatkala Nabi SAW wafat, usia ‘Aisyah saat itu baru 18 tahun.�
> Sejarahwan Muslim klasik, al-Thabari dalam Tarikh al-Umam wa
al-Muluk mengamini riwayat di atas bahwa ‘Aisyah (puteri Abu Bakr)
dipinang Nabi pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga dengannya
pada usia 9 tahun. Pada bagian lain, al-Thabari mengatakan bahwa semua
anak Abu Bakr yang berjumlah 4 orang dilahirkan pada masa jahiliyah
dari 2 isterinya. Jika ‘Aisyah dipinang Nabi pada 620 M (saat
dirinya masih berusia 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623 M (pada
usia 9 tahun), hal itu menunjukkan bahwa ‘Aisyah dilahirkan pada
tahun 613 M. Yakni, 3 tahun sesudah masa Jahiliyah berakhir (tahun 610
M).
> Padahal al-Thabari sendiri menyatakan bahwa ‘Aisyah dilahirkan
pada masa Jahiliyah. Jika ‘Aisyah dilahirkan pada masa Jahiliyah,
setidaknya ‘Aisyah berusia 14 tahun saat dinikahi Nabi. Pendeknya,
riwayat al-Thabari perihal usia ‘Aisyah ketika menikah tidak
reliable dan terindikasi kontradiktif.
> Kontradiksi perihal usia ‘Aisyah saat dinikahi Nabi akan semakin
kentara jika usia ‘Aisyah dihitung dari usia kakaknya, Asma’ binti
Abi Bakr. Menurut Ibn Hajar al-‘Asqallani dalam Tahdzib al-Tahdzib,
Asma’ yang lebih tua 10 tahun dari ‘Aisyah meninggal di usia 100
tahun pada 74 Hijrah. Jika Asma’ wafat di usia 100 tahun pada 74 H,
maka Asma’ seharusnya berumur 27 tahun ketika adiknya ‘Aisyah
menikah pada tahun 1 Hijrah (yang bertepatan dengan tahun 623 M).
> Kesimpulannya, berdasarkan riwayat di atas itu pula dapat
dikalkulasi bahwa ‘Aisyah ketika berumah tangga dengan Nabi berusia
sekitar 17 tahun.
> Kontradiksi lain seputar mitos usia kanak-kanak ‘Aisyah tatkala
dinikahi Nabi dapat dicermati melalui teks riwayat Ahmad bin Hanbal
berikut. Sepeninggal isteri pertamanya, Khaulah datang kepada Nabi dan
menasehatinya agar menikah lagi. Lantas Nabi bertanya kepadanya
tentang pilihan yang ada dalam pikiran Khaulah. Khaulah kemudian
berkata, “Anda dapat menikahi seorang perawan (bikr) atau seorang
janda (tsayyib).�  Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis
perawan (bikr) tersebut, Khaulah menyebut nama ‘Aisyah.
> Bagi orang yang mengerti bahasa Arab, dia akan paham bahwa kata bikr
tidak digunakan untuk bocah ingusan berusia 7 atau 9 tahun. Kata yang
tepat untuk gadis ingusan yang masih kanak-kanak adalah jariyah.
Sebutan bikr diperuntukkan bagi seorang gadis yang belum menikah serta
belum punya pengalaman seksual—yang dalam bahasa Inggris
diistilahkan dengan “virgin�. Oleh karena itu, jelaslah bahwa
‘Aisyah yang disebut bikr dalam hadis di atas telah melewati masa
kanak-kanak dan mulai menapaki usia dewasa saat menikah dengan Nabi.
> Â
> Epilog
> Tak ada dalam masyarakat Arab tradisi menikahkan anak perempuan yang
baru berusia 7 atau 9 tahun. Demikian juga tak pernah terjadi
pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah yang masih berusia kanak-kanak.
Masyarakat Arab tak pernah keberatan dengan pernikahan seperti itu,
karena kasusnya tak pernah terjadi.
> Riwayat pernikahan ‘Aisyah pada usia 7 atau 9 tahun oleh Hisyam
bin ‘Urwah tak bisa dianggap valid dan reliable mengingat sederet
kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain dalam catatan klasik. Lebih
ekstrim, dapat dikatakan bahwa informasi usia ‘Aisyah yang masih
kanak-kanak saat dinikahi Nabi hanyalah mitos semata.
> Nabi adalah seorang gentleman. Dia takkan menikahi bocah ingusan
yang masih kanak-kanak. Umur ‘Aisyah telah dicatat secara
kontradiktif dalam literatur hadis dan sejarah Islam klasik. Karenanya
klaim sejumlah pihak yang menikahi gadis di bawah umur dengan dalih
meneladani sunnah Nabi itu bermasalah, baik dari sisi normatif (agama)
maupun sosiologis (masyarakat) .
> Jikalau riwayat-riwayat seputar pernikahan Nabi dengan ‘Aisyah
yang masih kanak-kanak itu valid, itu juga tak bisa serta-merta
dijadikan sandaran untuk mencontohnya. Tidakkah Nabi itu memiliki
previlige (hak istimewa) yang hanya diperuntukkan secara khusus
untuknya, tapi tidak untuk umatnya. Contoh yang paling gamblang adalah
kebolehan Nabi untuk menikah lebih dengan 4 isteri!?
Oleh Yusuf Hanafi (PIQ)
Pondok Pesantren Ilmu Al Quran, Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
Tags: , , ,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar