Sabtu, 31 Juli 2010


Poligami

April 23rd, 2006 by bobeto05
"Hanya di Islam Poligami dibolehkan, Agama lain melarang Poligami!"
Hampir jungkir balik saya mendengar komentar seorang teman (padahal dia Muslimah) seperti ini.
Sepertinya program pengrusakan keyakinan terhadap Islam mulai menampakkan hasilnya. Memang kelompok yang memusuhi Islam telah memprogramkan hal ini. Untuk menghancurkan Islam tidak bisa dengan memerangi Islam, tapi rusak moral generasi mudanya dan hilangkan keyakinan mereka terhadap ajaran agama mereka.
Saya hanya bisa menghela nafas dengan berat. Saya minta kepada kawan tersebut untuk membawakan satu ayat saja dalam Kitab suci manapun yang melarang Poligami. Mungkin dia malah belum pernah memegang Al Kitab (Bibel), Wedha atau Tripitaka. Jadi, yang dikatakannya itu adalah apa yang didengarnya dari musuh Islam. Semoga dia mau mempelajari lebih banyak.
Dari 2 kitab suci yang pernah saya baca, baru Al Quran lah yang secara tegas melakukan pembatasan jumlah istri sebanyak 4, tetapi bila TIDAK MAMPU berlaku ADIL kawini 1 saja. Sedangkan di kitab lainnya, tidak ada batasan jelas, walaupun ada larangan bercerai. Jadi sangat dimungkinkan terjadi Poligami bukan??? Lihatlah dari kisah2 setiap Agama dimana para orang pilihan pun ber-poligami.
Beristri lebih dari 1 (dengan batas 4) memang dibolehkan, tapi bagi saya itu bukan anjuran apalagi perintah. Bagi mereka yang merasa mampu berlaku adil, silahkan. Saya angkat topi dengan keyakinan mereka. Tapi jangan kawin sembunyi2 dengan dalih poligami, karena itu menimbulkan fitnah. Padahal Rasulullah memerintahkan untuk mengabarkan pernikahan.
Memang banyak kalangan (terutama dari kaum feminis) yang menentang keras poligami. Mereka beralasan, poligami menyakiti hati wanita. Oke, saya tau mungkin sangat sedikit wanita yang ikhlas dimadu (bukan berarti tidak ada seperti kata mereka). Tapi saya heran, mereka menentang keras poligami bahkan memboikot usaha pelaku poligami, tapi kok tidak ada penentangan keras terhadap pelaku zina dan pemboikotan dari pergaulan dengan para pezina. Padahal para pezina itu menyakiti hati seorang wanita yang seharusnya paling kita muliakan di dunia ini yaitu IBU. Saya mau bertanya, sakit mana hati seorang Ibu yang anaknya berzina dan di-zinahi dibandingkan dengan hati seorang wanita yang dimadu (secara terus-terang/poligami). Oke kalau mereka - atas nama HAM dan emansipasi wanita - menentang/memboikot para POLIGAMER. Tapi saya minta mereka fair dengan menentang/memboikot dari pergaulan para ZINAHER (he..he.. istilah baru nih).

Laki-laki tidak akan bisa berlaku adil, bahkan di dalam Al Quran ditegaskan "Kau tak akan bisa berlaku adil walaupun kau SANGAT INGIN BERLAKU ADIL". Benar, keadilan di dunia ini bersifat relatif dan subyektif. Bagaimanapun usaha seorang suami untuk adil, istri yang dimadu pasti akan ada rasa cemburu. Bahkan Rasul yang paling mulia pun tidak bisa terhindar dari hal ini. Tapi ingat, di dalam Islam yang diutamakan adalah usahanya. Bila seseorang berusaha sungguh-sungguh, dia akan dianggap sudah berlaku adil (Ingat, usaha sungguh-sungguh). Bukankah seorang yang berusaha sungguh-sungguh dalam ijtihad, bila dia benar mendapat 2 pahala sedangkan bila salah mendapat 1 pahala? Selain itu, bila penegasan Allah bahwa manusia tidak akan bisa berlaku adil menjadi alasan untuk menasakh (menghapus/membatalkan) pembolehan poligami, ini juga salah. Sebab dalam Al Quran juga dikatakan "Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu tidak berlaku adil terhadap mereka". Apakah berarti perintah ini batal? Apakah kita jadi boleh menganiaya golongan yang kita benci tanpa alasan? Tolong dipikirkan.

Serangan lain yang ditujukan bagi ’sedikit’ wanita yang rela dimadu adalah dengan alasan Ekonomi dan Dogma Agama. Alasan Ekonomi mungkin benar. Tapi apa salahnya? Bukankah yang bermonogami juga banyak karena alasan ekonomi (bahkan sangat keterlaluan/matre)? Seorang wanita rela dimadu karena dia menggantungkan hidupnya dari nafkah suami adalah lebih terhormat dari pada wanita yang mau mandiri secara ekonomi dengan menjual tubuh (Baik melacur secara harfiah, maupun melacur atas nama seni).
Bagaimana dengan Dogma Agama (bahwa akan disediakan sorga bagi wanita yang rela dimadu)? Mungkin ini perlu penjelasan mendalam. Di dalam Al Quran dikatakan "Tidak lah Kami (Allah) timpakan ujian/cobaan bagi manusia dengan apa yang tidak mampu ditanggungnya". Jadi, bila seorang wanita berhasil lulus dalam ujian ini, derajatnya di mata Allah meningkat. Wajar bukan dengan janji sorga dari Allah? Bagi mereka yang tidak mampu menanggung ujian poligami ini, berarti kemampuannya hanya sampai disitu. Untuk mencari sorga masih juga tersedia jalan-jalan yang lain dengan ujian yang berbeda. Jadi jangan risau :D (Tenanglah istriku, masih banyak jalan).

Kalau kita mau fair, mereka yang menolak poligami juga disebabkan Dogma pihak yang mau menjelek-jelekkan Islam. Dogma itu seperti : "Poligami menyakiti hati wanita", "Laki-laki tak akan bisa adil", "Hanya Islam yang membolehkan Poligami (sebagai bentuk penindasan terhadap wanita kata mereka)". dan lain-lain. Teman tadi juga pernah mengatakan bahwa banyak contoh rumah tangga yang hancur karena poligami. Pertanyannya, tidak banyakkah rumah tangga monogami yang hancur? Apakah berarti kita tinggalkan saja perkawinan (Monogami maupun poligami), dan mulai kumpul kebo? Justru Kumpul Kebo adalah bentuk pelecehan terhadap wanita menurut saya. Dengan model ini, si wanita bebas di’pake’ tanpa tanggung jawab. Ini benar-benar pelecehan serendah-rendahnya terhadap wanita, na’udzubillah mindzalik. Bagi saya, perkataan seorang Poligamer lebih bisa saya percaya (Sebab dia berani menanggung resiko dengan berpoligami) dari pada seorang Zinaher, Kumpul-keboer, selingkuher dan er-er lainnya yang tidak siap bertanggung jawab (Tidak siap menerima resiko). Bagi saya, prinsip High Risk High Gain adalah benar.
Kesimpulannya, seperti dikatakan di dalam Al Quran, "Tidaklah patut bagi laki-laki beriman dan perempuan beriman, bila Allah dan Rasulnya menetapkan sesuatu bai urusan mereka akan ada pilihan lain bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang mendurhakai Allah, mereka di dalam kesesatan yang nyata". Dan di lain ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau HARAMKAN sesuatu yang baik yang di HALALKAN Allah bagimu dan janganlah BERLEBIH-LEBIHAN. Sesungguhnya Allah membenci orang yang berlebih-lebihan".
READ MORE -

Kamis, 29 Juli 2010

Ulama-ulama Nusantara yang Sudah Mendunia

Mereka umumnya menghabiskan hidupnya dengan mengajar di Mekah, sebagian lagi pulang ke Indonesia

Hidayatullah.com--
Sejarah mencatat beberapa ulama Indonesia pada masa lalu pernah berkiprah hingga namanya dikenal dunia. Mereka pada umumnya berguru ke Mekah dan Madinah. Sebagian menghabiskan hidupnya dengan mengajar di sana, sebagian lagi pulang ke Indonesia. Berikut di antara mereka:
Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari
Namanya tak hanya dikenal oleh masyarkaat Nusantara, tapi juga kaum muslimin di Filipina, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan India. Lahir di Banjar tanggal 15 Safar 1122 (17 Mei 1710). Selama hampir 35 tahun berguru pada ulama-ulama terkenal di Mekah dan Madinah seperti Syeikh Ataillah bin Ahmad Al-Misriy, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdiy, Syeikh Ahmad bin Abd Mun'im Syeikh, dan Muhammad bin Abd Karim Al-Qadiri.

Selepas berguru di Mekah dan Madinah, Al-Banjari kembali ke tanah air. Ia membuka pusat-pusat studi Islam untuk membantu masyarakat menimba ilmu pengetahuan.

Al-Banjari berhasil menulis berpuluh-puluh karya. Salah satu yang termasyhur adalah kitab Sabilal Muhtadin, yang kerap menjadi referensi para penulis buku fikih.

Pada 6 Syawal 1227 (3 Oktober 1812), Al-Banjari wafat. Untuk mengenang karya dan jasanya, masyarakat Banjarmasin mendirikan Masjid Raya Sabilal Muhtadin.

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli Al-Minangkabawi

Ia seangkatan dengan Hasyim Asyhari, pendiri Nahdlatul Ulama. Lahir di Candan, Sumatera Barat, pada tahun 1871.

Sulaiman menuntut ilmu agama di Mekah dan antara lain berguru pada ulama Minang yang tinggal di Tanah Suci, Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif Al-Minangkabawi. Sekembali ke tanah air, ia menyebarkan ajaran Islam dengan sistem lesehan (duduk bersila). Baru pada tahun 1928, Al-Minangkabawi menggunakan bangku.

Pada tahun 1928 juga, Al-Minangkabawi bersama Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho menggagas berdirinya organisasi yang sempat menjadi partai politik, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).

Syeikh Sayyid Utsman Betawi

Nama lengkapnya Sayyid Utsman bin Abdullah bin Aqil bin Umar bin Yahya Al-Alawi, namun lebih dikenal dengan sebutan Habib Utsman Mufti Betawi. Lahir di Pekojan, Jakarta, 17 Rabiul Awwal 1238 (2 Desember 1822).

Habib Utsman adalah sahabat ulama besar Sayyid Yusuf An-Nabhani, mufti di Beirut. Selama di Mekah, Habib Utsman menimba ilmu pada Syeikh Ahmad Ad-Dimyathi, Sayyid Muhammad bin Husein Al-Habsyi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syeikh Rahmatullah.

Semasa hidupnya, Mufti Betawi berhasil menulis karya sebanyak 109 buah. Dalam memutuskan suatu perkara ia dikenal sangat tegas. Tak heran kalau ulama-ulama asli Jakarta yang ada sekarang sangat mengagumi sosok Mufti Betawi dan menjadikannya guru teladan.

Syeikh Muhammad Khalil Al-Maduri

Lahir pada 11 Jamadil Akhir 1235 (27 Januari 1820) di Bangkalan, Madura. Al-Maduri berasal dari keluarga ulama. Ia sempat berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur.

Al-Maduri semasa mudanya berhasil menghafal Al-Qur'an (hafizh). Juga mampu menguasai qiraah tujuh (tujuh cara membaca Al-Qur'an).

Tahun 1859 Al-Maduri menuju ke Mekah. Ia bersahabat dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani. Sekembalinya ke tanah air, Al-Maduri mendirikan pondok pesantren di daerah Cengkebuan, 1 kilometer dari tanah kelahirannya.

Pada masa penjajahan Belanda, ia sudah sepuh dan tak lagi mampu terlibat langsung dalam kontak fisik. Namun ia sangat aktif menumbuhkan sikap perlawanan kepada para pemuda di pondok pesantrennya. Akibatnya, Al-Maduri ditahan Belanda karena dituduh melindungi para pemberontak.

Muhammad Khalil Al-Maduri wafat pada usia 106 tahun (29 Ramadan 1341 atau 14 Mei 1923). Semasa hidup telah membina kader-kader ulama untuk generasi setelahnya, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang) dan KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang).

Syeikh Nawawi Al-Bantani


Al-Bantani kerap disebut sebagai “Imam Nawawi Kedua”. Gelar ini diberikan oleh Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain Al-Fathani.

Lahir pada penghujung abad ke-18 di Banten. Ia memiliki nama lengkap Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali Al-Jawi Al-Bantani.

Selama di Mekah, Nawawi Al-Bantani belajar pada beberapa ulama terkenal seperti Syeikh Ahmad An-Nahrawi, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah Al-Maliki, Syeikh Ahmad Ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma Al-Hanbali, Syeikh Zainuddin Aceh, dan Syeikh Ahmad Khathib Sambas.

Setiap kali mengajar di Masjidil Haram, ia selalu dikelilingi sekitar 200-an orang. Pernah diundang ke Universitas Al-Azhar, Mesir, untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara khusus.

Syeikh Muhammad Mukhtar Al-Bughri
Lahir di Bogor, Jawa Barat, pada 14 Sya'ban 1278 (14 Februari 1862). Nama lengkapnya Muhammad Mukhtar bin Atharid Al-Bughri Al-Batawi Al-Jawi. Pendidikan agamanya didapat langsung dari orang tuanya. Semasa muda, ia telah mampu menghafal Al-Qur'an.

Tahun 1299 hijrah ke Betawi (Jakarta) untuk menimba ilmu kepada Sayyid Utsman. Tidak puas juga, ia kemudian menuju ke Mekah.

Selama di Mekah, Mukhtar Al-Bughri belajar kepada ulama termasyhur, Syeikh Ahmad Al-Fathani. Ia juga diberi kesempatan untuk mengajar di Masjidil-Haram selama 28 tahun.

Setiap kesempatan mengajar, ia selalu dikelilingi sekitar 400-an muridnya. Semasa hidupnya telah menulis berpuluh-puluh karya. Mukhtar Al-Bughri wafat di Mekah pada 17 Shafar 1349 (13 Juli 1930).

Syeikh Abdul Hamid Asahan

Nama lengkapnya Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud. Lahir di  Tanjung Balai Asahan, Sumatera Utara, tahun 1298 H (1880).

Sejak kecil ia belajar kepada saudara iparnya yang bernama Haji Zainuddin. Setelah itu belajar kepada ulama termasyhur di Asahan bernama Syeikh Muhammad Isa, mufti Kerajaan Asahan.

Syeikh Muhammad Isa menganjurkan Abdul Hamid untuk menimba ilmu ke Mekah. Pasalnya, Abdul Hamid memiliki talenta untuk menjadi ulama.

Sampai di Mekah, Abdul Hamid Asahan langsung diterima belajar di halaqah Syeikh Ahmad Al-Fathani. Sayang, dua tahun kemudian Syeikh Ahmad Al-Fathani meninggal dunia (1325 H/1908). Walau berinteraksi hanya sekitar dua tahun, rasa kasih sayang Syeikh Ahmad Al-Fathani begitu kuat.

Abdul Hamid Asahan kemudian berguru pada Syeikh Ahmad Khathib bin Abdul Lathif Minangkabawi. Proses belajar ini sempat terganggu karena meletusnya Perang Dunia I (1914 - 1918). Ia terpaksa pulang ke Tanjung Balai Asahan.

Abdul Hamid kemudian mendirikan Madrasah 'Ulumil 'Arabiyah. Seiring berjalannya waktu, madrasah ini berkembang pesat dan menjadi termasyhur di Sumatera Utara.

Abdul Hamid Asahan melengkapi hidupnya dengan menulis berpuluh-puluh buku. Ia wafat pada 10 Rabiul Akhir 1370 (18 Februari 1951). [syahid/hid/hidayatullah.com]
READ MORE -

Sabtu, 03 Juli 2010

Berhaji Membawa Babi : Jangan Mau Disuntik Vaksin Babi

|
Selama bertahun-tahu, jamaah haji Indonesia harus disuntik vaksin meningitis yang mengandung enzim babi, Darurat, alasannya. Padahal Malaysia sudah bisa membuat yang halal.

Penggunaaan barang haram dalam vaksin kembali menghebohkan. Kali ini bahan vaksin menginitis yang wajib disuntikkan kepada calon haji Indonesia dipertanyakan banyak pihak. Pasalnya, produksi vaksin itu menggunakan enzimd dari organ dalam babi.

Secara chemisty, DNA (Deoxybro Nucleid Acid) manusia dan babi hanya beda 3 persen. Menurut DR Muladno, ahli genetika molekuler di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bandung, aplikasi teknologi transgenetika membuat organ penyusun tubuh babi akan semakin mirip dengan manusia.

Itu sebabnya, menurut Sumanto dan Armien Meiwes (Jerman), daging manusia dan daging babi rasanya mirip. Keduanya pernah dihukum karena membunuh manusia dan memakan sebagian dagingnya.

Kamaluddim Al Damiriy, dalam Kitabul Hayawan Al Kubra memaparkan sifat buruk babi, Diantaranya, lahap makan ular dan bangkai binatang. Racun ular sama sekali tidak berpengaruh baginya. Ia juga memakan kotoran hewan lain dan bahkan juga kotorannya sendiri.

Sejak 1994, MUI sudah berfatwa bahwa haram hukumnya memanfaatkan babi dan semua unsure atau bagiannya. Termasuk enzim babi sekalipun yang digunakan pada pembuatan vaksin menginitis.

Dasarnya adalah firman Allah SWT dalam Al Qur’an, “Diharamkan bagimu makan bangkai, darah dan babi,…” (QS. Al Maa’idah : 3). Diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir ra bahwa Rasulullah SAW berwasiat, “Allah mengharamkan penjualan (dan pembelian) arak, bangkai dan babi,” Seseorang sahabat bertanya :’Ya Rasulullah bagaimana dengan lemak babi ? Lemak bagi dapat digunakan untuk mengecat perahu, menghaluskan kulit dan sebagai alat penerang (pelita) ?”Nabi menegaskan, “Tidak,, ia tetap haram. Allah mengutuk orang-orang Yahudi. Allah mengharamkan mereka makan lemak babi, tetapi mereka mengumpulkannya lalu menjualnya dan makan harganya (hasilnya)” (HR. Bukhari, Muslim dan Ashabus Sunnah).

Selama ini pemerintahan Arab Saudi mewajibkan para calon haji disuntik vaksin menginitis. Katanya, untuk melindungi dari penyakit maninglokal, yang disebabkan virus Naiseira Manginitis. Virus ini menyebabkan infeksi pada selaput otak dan meningokomenia (keracunan darah), dan menular melalui batuk, bersin, serta nafas mulut. Katanya, belum ada obat yang bisa menyembuhkan.

Nah, yang selama ini dirahasiakan, virus meningokokus awalnya diambil dari cairan darah orang Amerika yang terkena menginitis. Virus ini diundang oleh kebiasaan menenggak minuman beralcohol dan pro aktif dengan kebiasaan dugem.

Belakangan, produksi vaksin meningitis menggunakan enzim dari organ dalam babi.

Anggota Majlis Pertimbangan Kesehatan Dan Syara’ (MPKS) Departemen Kesehatan (Depkes), Prof Jurnalis Udin, membenarkan hamper semua produsen vaksin menggunakan enzim babi dalam proses pembuatannya. Apalagi, vaksin menginitis untuk jamaah haji dan umroh itu diproduksi oleh Eropa dan Amerika.

Bagi industry Eropa dan Amerika, tidak ada istilah halal-haram dalam membuat vaksin. Vaksin polio misalnya, dibuat dari campuran ginjal kera, sel kanker manusia, serta cairan tubuh hewan tertentu termasuk serum dari sapi, bayi kuda, dan ektrak mentah lambung babi.

Beberapa vaksin juga diperoleh dari aborsi janin manusia, yang dijakarta saja jumlahnya mencapai 100.000 kasus pertahun. Vaksin untuk cacar air, Hepatitis A, dan MMR, diperoleh dengan menggunakan fetal cell line dari janin manusia yang diaborsi.

Sel line tersebut biasanya diambil dari bagian paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus, dan hati yang diperoleh dari janin aborsi terpisah dengan kode tertentu. Isolat WI-38 misalnya, berarti diperoleh dari paru-paru bayi perempuan berumur 3 bulan.

Prof Jurnalis mengakui, selama ini Depkes dan MPKS mengetahui bahwa vaksin meningitis menggunakan enzim babi.

“Namun, kami memutuskan haram berubah menjadi makruh karena kondirinya darurat”, ungkap jurnalis seperti dikutip dari Republika (29/4). Dalihnya, untuk kepentingan umat Islam yang menjadi jamaah haji. “Pemerintah berniat melindungi rakyat, karena pemerintah Arab Saudi mewajibkan calon jamaah haji harus divaksin supaya tidak terserang meningitis”.

Namun, MPKS meminta agar status darurat vaksin meningitis tidak berlarut-larut. “Nggak boleh terus menerus darurat. Ini kealpaan kita juga. Untuk itu saya minta Biofarma dan importir obat menggunakan enzim dari sapi dalam pembuatan vaksin”, katanya. Toh, perusahaan Malaysia pun sudah mampu memproduksi vaksi meningitis yang halal.

Direktur LPPOM MUI, Nadratuzzaman Hosen, membenarkan bahwa kasus vaksin meningitis ini mengandung enzim babi ini kasus lama yang didiamkan pemerintah. “Ini masalah lama, kita tahu, Departemen kesehatan juga tahu. Banyak vaksin yang mengandung enzim babi, bukan hanya vaksin meningitis saja”, ungkap Nadra yang mengaku sudah berulang kali protes ke pemerintah soal ini.

Menurut Nadra, pemerintah Saudi memang awam dalam hal kehalalan produk. “Soal babi misalnya, mereka hanya tahu jangan makan daging babi saja”, katanya. Saudi Arabia karenanya belum perlu memiliki lembaga sertifikasi halal meskipun halal-product sudah menjadi tren global.

Ketua Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umroh Indonesia (AMPHURI), HM Baluki Ahmad, mendesak Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari bertindak cepat menyelesaikan kasus vaksin meningitis yang mengandung enzim babi.

“Kami harap Menkes segera melakukan klasifikasi dan bertindak cepat. Karena kami dari asosiasi banyak mendapatkan pertanyaan dari calon jamaah Umrah”, kata Baluki Ahmad di kantor AMPHURI, Jakarta, Rabu (29/4). Baluki menegaskan jika vaksin meningitis itu mengandung enzim babi, Depkes harus menggantinya dengan vaksin meningitis yang halal.

Selain tidak halal, efektifitas vaksin meningitis juga layak dipertanyakan. Vaksin ini tidak member perlindungan utuh, hanya mengurangi resiko penyakit meninglokal yang disebabkan oleh Serogroup A, C, Y dan W 135. Penerima suntikan masih berpeluang terkena penyakit sebanyak 30 persen pasa seluruh kelompok usia.

Vaksin meningitis efekstif hanya untuk 3 sampai 5 tahun. Ia mengandung temirosal (air raksa( sebagai bahan pengawet. Padahal bahan ini, salah satu pemicu kanker (karsinogen)dan gangguan syaraf yang berdampak buruk pada sel-sel otak dan organ tubuh jamaah haji.

Beberapa jamaah haji Indonesia mengalami gejala-gejala seperti biru-biru diseluruh tubuh, jantung berdebar-debar, nyawa seperti melayang, rasa ketakutan, pusing, mual , setelah divaksin meningitis.[]taqiyuddin albaghdady

Dikutip dari : Tabloit Media Umat, Edisi 13,
26 Jumadil Awwal – 10 Jumadil Akhir 1430 H/ 22 Mei – 4 Juni 2009
READ MORE -

nabi muhammad phedofile? apa cuma fitnahan belaka


Pernikahan di bawah umur, Rasulullah tidak menikahi Aisyah pada usia 9 tahun

,
Menarik membahas pernikahan dini, apalagi pernikahan di bawah umur. Banyak orang mengatas namakan Rasulullah SAW sebagai dasar hukumnya. Suatu hari, saya surfing dan menemukan artikel menarik.. sumbernya dari: http://www.kaskus.us/showthread.php?t=1160858


Di bawah ini adalah sebuah analisis tentang riwayat pernikahan
Rasulullah saaw dengan Aisyah, buat menjawab pertanyaan bang Item.
Diterjemahkan dari artikel di halaman ini: http://iiie. net/node/ 58

Seorang teman nonmuslim suatu kali bertanya kepada saya, "Akankah anda
menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua
berumur 50 tahun?" Saya terdiam.Dia melanjutkan, "Jika anda tidak akan
melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos
berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?" Saya katakan padanya,
"Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini." Teman
saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan guncangan dalam batin saya
akan agama saya.

Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima
masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa
keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah.


Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi
orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup
puas dengan penjelasan seperti itu.

Nabi merupakan manusia tauladan, Semua tindakannya paling patut
dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimaanpun,
kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak
akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7
tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju
dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak
semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua
tersebut.

Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak
pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami
berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun
1931, Sidang dalam oraganisasi- oraganisi hukum dan syariah menetapkan
untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas
(Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan
bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia
anak-anak adalah tidak dapat diterima.

Jadi, Saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya
terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis brumur 7 tahun dengan
Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata. Bagaimanapun perjalanan
panjang saya dalam menyelelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan
intuisi saya benar adanya.

Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos
berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam
literatur hadist. Lebih jauh, Saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan
hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya.

Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah
pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat
bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang
diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari
sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis
polos berumur 7 tahun.

Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di
hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang
mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2
atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak
ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal,
sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan
adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn
Anas, tidak menceritakan hal ini.
Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham
tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia tua.

Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi
catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : "
Hisham sangatbisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali
apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq "
(Tehzi'bu'l- tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni, Dar Ihya al-turath
al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat
Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: " Saya pernah diberi tahu
bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq"
(Tehzi'b u'l-tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath
al-Islami, Vol.11, p. 50).

Mizanu'l-ai` tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada
periwayat hadist Nabi saw mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham
mengalami kemunduran yang mencolok" (Mizanu'l-ai` tidal, Al-Zahbi,
Al-Maktabatu' l-athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:
berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan
riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya,
sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak
kredibel.

KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting
dalam sejarah Islam:

Pra-610 M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu
610 M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam
613 M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke Masyarakat
615 M: Hijrah ke Abyssinia.
616 M: Umar bin al Khattab menerima Islam.
620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah
622 M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Medina
623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah

Bukti #2: Meminang

Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Hunbal and Ibn
Sad), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada
usia 9 tahun.

Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: "Semua anak Abu Bakr (4
orang) dilahirkan pada masa jahiliyahh dari 2 isterinya "
(Tarikhu'l-umam wa'l-mamlu'k, Al-Tabari (died 922), Vol. 4,p. 50,
Arabic, Dara'l-fikr, Beirut, 1979).

Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga
tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah
dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah
seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh
usai (610 M).

Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah.
Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah
berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami
kontradiksi dalam periwayatannya.

KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable mengenai umur Aisyah ketika menikah.

Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah

Menurut Ibn Hajar, "Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali,
ketika Nabi saw berusia 35 tahun… Fatimah 5 tahun lebih tua dari
Aisyah" (Al-isabah fi tamyizi'l-sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol.
4, p. 377, Maktabatu'l- Riyadh al-haditha, al-Riyadh,1978) .

Jika Statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan
ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia
Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun.

KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi
satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia
7 tahun adalah mitos tak berdasar.

Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma'

Menurut Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd: "Asma lebih tua 10 tahun
dibanding Aisyah (Siyar A`la'ma'l-nubala' , Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289,
Arabic, Mu'assasatu' l-risalah, Beirut, 1992).

Menurut Ibn Kathir: "Asma lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]"
(Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371,Dar al-fikr
al-`arabi, Al-jizah, 1933).

Menurut Ibn Kathir: "Asma melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H,
dan 5 hari kemudian Asma meninggal. Menurut iwayat lainya, dia
meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20
hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari
kemudian. Pada waktu Asma Meninggal, dia berusia 100 tahun"
(Al-Bidayah wa'l-nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-fikr
al-`arabi, Al- jizah, 1933)

Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: "Asma hidup sampai 100 tahun dan
meninggal pada 73 or 74 H." (Taqribu'l-tehzib, Ibn Hajar
Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi'l-nisa', al-harfu'l-alif, Lucknow).

Menurut sebagaian besar ahli sejarah, Asma, Saudara tertua dari Aisyah
berselisih usia 10 tahun. Jika Asma wafat pada usia 100 tahun dia
tahun 73 H, Asma seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah
622M).

Jika Asma berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah
berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi,
Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada taun dimana Aisyah
berumah tangga.

Berdasarkan Hajar, Ibn Katir, and Abda'l-Rahman ibn abi zanna'd, usia
Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau
20 tahun.

Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan
dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan
pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar
? 12 atau 18..?

KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah.

Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD

Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr
dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab
karahiyati'l- isti`anah fi'l-ghazwi bikafir). Aisyah, ketika
menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang
Badar, mengatakan: "ketika kita mencapai Shajarah". Dari pernyataan
ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar.

Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam
Bukhari (Kitabu'l-jihad wa'l-siyar, Bab Ghazwi'l-nisa' wa
qitalihinnama` a'lrijal) : "Anas mencatat bahwa pada hari Uhud,
Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah. [pada hari itu,]
Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan
sedikit pakaian-nya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan
tsb]."

Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang
Uhud dan Badr.

Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu'l-maghazi, Bab Ghazwati'l-khandaq wa
hiya'l-ahza' b): "Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak
mengijinkan dirinya berpastisispasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu
Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15
tahun, Nabi mengijinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb."

Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun
akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b)
Aisyahikut dalam perang badar dan Uhud

KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas
mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi
minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut
menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk
membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti
lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah.

BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan)

Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan
sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah
tercatat mengatakan hal ini: "Saya seorang gadis muda(jariyah dalam
bahasa arab)" ketika Surah Al-Qamar diturunkan(Sahih Bukhari,
Kitabu'l-tafsir, Bab Qaulihi Bal al-sa`atu Maw`iduhum wa'l-sa`atu
adha' wa amarr).

Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum
hijriyah(The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa
surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. jika Aisyah memulai
berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M or 624 M,
Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah
Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat diatas, secara aktual tampak
bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir
ketika pewahyuan Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka
bermain (Lane's Arabic English Lexicon).

Jadi, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah
berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena
itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi.

KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang
berusia 9 tahun.

Bukti #7: Terminologi bahasa Arab

Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri
pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan
menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang
pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: "Anda dapat
menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah
(thayyib)". Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut
(bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah.

Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata bikr
dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun.

Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah,
seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. Bikr disisi lain, digunakan
untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan
pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa
Inggris "virgin". Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia 9
tahun bukanlah "wanita" (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p.
.210,Arabic, Dar Ihya al-turath
al-`arabi, Beirut).

Kesimpulan: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas
adalah "wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam
pernikahan." Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada
waktu menikahnya.

Bukti #8. Text Qur'an

Seluruh muslim setuju bahwa Quran adalah buku petunjuk. Jadi, kita
perlu mencari petunjuk dari Qur'an untuk membersihkan kabut
kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik
Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Quran mengijinkan
atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun?

Tak ada ayat yang secara eksplisit mengijinkan pernikahan seperti itu.
Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam
mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur'an mengenai
perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri
sendiri.

Ayat tersebut mengatakan : Dan janganlah kamu serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam
kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah
mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah
kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5) Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah.

Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ??
(Qs. 4:6)

Dalam hal seorang anak yang ditingal orang tuanya, Seorang muslim
diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c)
mendidik mereka, dan (d) menguji mereka thd kedewasaan "sampai usia
menikah" sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan.

Disini, ayat Qur'an menyatakan tentang butuhnya bukti yang teliti
terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test
yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan
pengelolaan harta-harta kepada mereka.

Dalam ayat yang sangat jelas diatas, tidak ada seorangpun dari muslim
yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan
pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa
mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan,
Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun
fisik untuk menikah. Ibn Hambal (Musnad Ahmad ibn Hambal, vol.6, p. 33
and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik
untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai
isteri.

Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu
Bakar,seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia
berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun.. Sama
sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia
berusia 7 tahun.

Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya.
Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan," berapa banyak di antara
kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil
memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?" Jawabannya
adalah Nol besar.

Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita
dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana
mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna
pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya?

Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua,
Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang
anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur'an.
Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah
proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara
memuaskan datang kepada Nabi, Beliau
akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran.

KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum
kedewasaan yang dinyatakan Quran. Oleh karena itu, Cerita pernikahan
Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata.

Bukti #9: Ijin dalam pernikahan

Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan
yang dia lakukan menjadi syah (Mishakat al Masabiah, translation by
James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang
kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesyahan
sebuah pernikahan.

Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan
oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi
sebagai validitas sebuah pernikahan.

Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang
cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan
pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki
berusia 50 tahun.

Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari
seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main
dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah.

KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena
akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang
klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu
kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara
intelektual maupun fisik.

Summary:
Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki
yang berusia 9 tahun, Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah
SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang arab tidak pernah
keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi
sebagaimana isi beberapa riwayat.

Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham
ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradisksi
dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata
untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para
pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah
selama di Iraq adalah tidak reliable.

Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka
kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih
jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan
riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika
menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata
pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam.

Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan
mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah
kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat
tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata. Lebih jauh, Qur'an
menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana
tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab.

Note: The Ancient Myth Exposed
By T.O. Shanavas , di Michigan.
(c) 2001 Minaret
from The Minaret Source: http://www.iiie. net/
READ MORE - nabi muhammad phedofile? apa cuma fitnahan belaka

Jumat, 02 Juli 2010

islam teroris ? islam hanya kambing hitam

islam teroris atau korban

[Image]KATA PENGANTARSINTUWU MAROSO adalah semboyan tanah Poso yang bermakna persatuan yang kokoh. Tapi makna itu beberapa tahun belakangan ini tak wujud. Di Poso terjadi konflik berkepanjangan selama beberapa tahun. Sejak Desember 1998 hingga kuartal pertama tahun 2007, persoalan Poso pasang surut menghiasi media massa.

Setelah tiga tahun konflik berlangsung, barulah pada Desember 2001, ditandatangani sebuah kesepakatan damai yang dinamai Deklarasi Malino. Jusuf Kalla yang saat itu menjabat sebagai Menkokesra bertindak sebagai mediator di antara dua kelompok yang diangap mewakili kelompok bertikai. Dinamakan Dekalarasi [i]Malino, karena kesepakatan yang dirancang dilaksanakan di Malino, Gowa, Sulawesi Selatan.

Isi Deklarasi Malino tertuang di dalam 10 butir kesepakatan, intinya menghentikan konflik dan menegakkan hukum. Tanpa pandang bulu, kedua kelompok diposisikan sebagai pihak yang bersalah. Sama sekali tidak ada upaya mendudukkan persoalan secara proporsional, mencari akar masalah, dan menyelesaikan konflik.

Pemerintahan Megawati yang kala itu diwakili Menko Kesra Jusuf Kalla, sama sekali tidak berminat mencari tahu siapa pemicu konflik, dan pihak mana yang menderita korban jiwa paling banyak. Pokoknya, dalam rangka mencapai damai di Poso, kedua kelompok harus mau menerima rumusan pemerintah. Bahwa keduanya bersalah dan harus mau berhenti bertikai.

Pemerintah sama sekali tidak menyadari, bahwa tokoh-tokoh Islam yang hadir dan tak hadir pada forum itu sama sekali tidak puas dengan rumusan tidak adil itu. Karena, umat Islam bukanlah pemicu konflik Poso, namun korban jiwa terbanyak justru dari kalangan Islam. Cobalah lihat kasus Poso III yang terjadi pada bulan MEI 2000, sekitar 1000 jiwa melayang, sebagian besar umat Islam. Beberapa ratus di antaranya adalah komunitas Pesantren Walisongo yang dibantai Tibo dkk.

Faktanya, beberapa bulan sejak Deklarasi Malino dikumandangkan, persisnya sejak April 2002, hampir setiap bulan terjadi konflik dan kerusuhan di Poso. Bahkan adakalanya dalam satu bulan terjadi beberapa kali konflik dan kerusuhan. Artinya, Deklarasi Malino tidak ada manfaatnya.

Apalagi pemerintah juga sama sekali tidak menyadari, bahwa harga diri umat Islam seperti diinjak-injak setiap ada upaya penyelesaian konflik horizontal. Padahal, umat Islam tidak pernah mencari gara-gara. Umat Islam berkuah darah melawan penjajah, ketika merdeka, justru dijadikan kambing hitam atas setiap konflik horizontal yang terjadi. Maka, sudah menjadi hukum alam bila dari ketidak adilan itu lahir sejumlah orang yang bergabung dalam sebuah komunitas �radikal� atau �fundamentalis� atau �teroris� yang melakukan upaya �balas dendam� sekaligus untuk menunjukkan bahwa umat Islam punya harga diri.

Kalau pemerintah mau dengan serius menyelesaikan konflik horizontal seperti di Poso, pertama-tama yang harus ditegakkan adalah keadilan. Tentu tidak adil bila pemicu konflik diperlakukan sama bahkan lebih lunak dari umat Islam yang justru menderita korban jiwa paling banyak.

Dalam banyak hal ditemukan ketidak adilan yang dilakukan aparat. Misalnya, dalam rangka memulihkan keamanan di Poso, digelar sejumlah operasi. Bila operasi pemulihan keamanan itu targetnya adalah pelaku teror dan pembantaian dari pihak Kristen, aparat menggunakan sandi Operasi Cinta Damai. Satgas yang diterjunkan juga bernama Satgas Cinta Damai. Sedangkan bila hal yang sama ditujukan kepada komunitas Islam, digunakan sebutan Operasi RAID yang bermakna SERBU atau BASMI. Apalagi, selama ini masyarakat awam lebih mengenal Raid sebagai salah satu merek pembasmi nyamuk. Jangan heran bila timbul persepsi, umat Islam disamakan dengan nyamuk sehingga perlu dibasmi. Apalagi pada kenyataannya, bila ditanya mengapa �teroris� Kristen yang diduga kuat terlibat namun tidak juga menjalani proses hukum, maka aparat berdalih �penanganan hukum harus didukung oleh saksi dan alat bukti�. Tapi bila menyangkut �teroris� Islam, langsung dibasmi, sebagaimana terjadi pada kasus penangkapan DPO pada 11 Januari 2007.

Berkenaan dengan keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh agama, aparat dan pemerintah juga jelas terlihat diskriminatif. Adnan Arsal dituding terlibat menyembunyikan DPO, sehingga ia pontang-panting mencari dukungan umat Islam yang lebih luas lagi. Tapi, aparat tidak pernah mempermasalahkan keterlibatan tokoh gereja, padahal, antara lain melalui pengakuan Tibo sudah bisa dijadikan landasan hukum menyeret mereka. Lebih mengecewakan, justru Brigjen Oegroseno yang saat itu menjabat Kapolda Sulawesi Tengah, dicopot dari jabatannya saat ia serius menelusuri keterlibatan tokoh-tokoh gereja seperti disebutkan Tibo.

Sebagaimana diberitakan TEMPO Interaktif edisi Kamis, 31 Agustus 2006, Oegroseno pernah mengatakan, konflik di Poso masih menjadi misteri. Ia meminta agar misteri dibalik konflik Poso dibuka. �Kalau dianggap sudah selesai tidak bisa, karena suatu saat akan meledak lagi.� Demikian pernyataan Oegroseno usai menyerahkan jabatan Kepala Polda Sulawesi Tengah kepada Badrudin Haiti di Mabes Polri. Oegroseno juga menilai, eksekusi terhadap Fabianus Tibo dan dua kawannya, tidak akan menyelesaikan konflik yang terjadi di Poso. Menurutnya, �pendekatan hukum itu pendekatan yang terakhir.� Oegroseno juga pernah mengatakan, �Sejarah jangan diputarbalikkan, mereka harus ceritakan apa adanya.�

Sebagian dari misteri Poso itu nampaknya berada di tangan para tokoh gereja yang kini �tiarap� dan bebas dari jeratan hukum, juga berada di tangan para tokoh nasrani lainnya, termasuk Melly istri kedua konglomerat Eka Tjipta Wijaya.

Bila aparat begitu bersemangat dan serius mengaitkan kasus Poso dengan JI (Jamaah Islamiyah), namun aparat sama sekali tidak menyentuh Legiun Christum, salah satu milisi Kristen yang ikut memerangi umat Islam di Poso.

Pada saat Abdurrahman Wahid menjadi presiden (26 Oktober 1999 � 24 Juli 2001) puncak kebiadaban terhadap umat Islam mencapai tingkatan tertinggi. Kasus Poso yang bermula Desember 1998, mencapai puncaknya Mei 2000. Kasus Ambon (Maluku) yang bermula Januari 1999 mencapai puncaknya pada kasus Halmahera sekitar Desember 1999. Menurut sejumlah media massa yang mengutip berbagai sumber, termasuk menurut laporan yang diterima Republika, sedikitnya 3.000 orang Islam tewas dalam pertikaian SARA yang terjadi sejak 26 Desember 1999 di Maluku Utara. Namun, menurut Gus Dur korbannya cuma lima. Begitu juga dengan kasus Sampit (pembantaian dan pengusiran suku Madura), terjadi pada pertengahan Februari 2001.

Nampaknya kaum nasrani kian berani membantai umat Islam karena sosok yang menjadi presiden RI saat itu adalah sahabat mereka. Lha, bagaimana nasib umat Islam bila yang menjadi presidennya adalah orang nasrani beneran.

Entah ada kaitan atau tidak, yang jelas, menurut Koran Tempo edisi 29 Januari 2006, pada tahun 2002 Abdurahman Wahid mantan presiden RI ke-4 diangkat sebagai anggota kehormatan Legiun Christum.

Aparat dan pemerintah selain menuding JI juga mencurigai para alumni Afghan. Faktanya, memang ada banyak alumni Afghan asal Indonesia yang memiliki keterampilan menggunakan berbagai jenis senjata dan merakit bom. Keterampilan itu mereka peroleh dari CIA. Namun, meski mereka memiliki keterampilan merakit bom, keterampilan itu tidak bisa begitu saja dipraktekkan karena bahan baku membuat bom tidak sembarangan bisa diperoleh. Kalau toh bisa diperoleh, harganya tidak murah. Pada umumnya para alumni Afghan bukan tergolong orang yang punya uang berlebih.

Para alumni Afghan adalah anak bangsa yang mempunyai jiwa pengorbanan tinggi terhahadap saudaranya, apalagi saudara sesama muslim meski berada jauh di Afghan. Mereka membebaskan saudara muslimnya dari cengkeraman pemerintahan komunis, dan berhasil. Bila untuk muslim Afghan yang nun jauh di sana, mereka mau berkorban nyawa, apalagi untuk muslim Indonesia.

Yang juga perlu diketahui, tidak semua alumni Afghan tergabung ke dalam JI. Dan perlu juga diketahui, tidak seluruh faksi JI yang ada terlibat di dalam aksi radikal seperti Bom Malam Natal (24 Des 2000), Bom Bali I (12 Okt 2002), Bom JW Marriott (05 Agustus 2003), Bom Kuningan (09 Sep 2004), dan Bom Bali II (01 Okt 2005), dan sebagainya.

Untuk mengenang tragedi pembantaian umat Islam di Poso, yang mencapai puncaknya Mei 2000, kronologi berikut ini yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga saja dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. Termasuk, generasi muda Islam yang bermaksud menjadikannya sebagai salah satu data (primer maupun sekunder) bagi kegiatan penelitian yang ditekuninya.
READ MORE - islam teroris ? islam hanya kambing hitam