Senin, 27 September 2010

Ilmuwan Albert Einstein adalah seorang muslim ( Islam bermazhab Syi'ah...benarkah?

ilmuwan Albert Einstein

Kantor berita Iran IRIB (24/9) baru-baru ini melansir sebuah berita yang menyatakan bahwa ilmuwan Albert Einstein adalah seorang penganut Syiah. IRIB mengutip sebuah surat rahasia Albert Einstein, ilmuan Jerman penemu teori relatifitas itu, yang menunjukkan bahwa dirinya adalah penganut mazhab Islam tersebut.



Berdasarkan laporan situs mouood.org, Einstein pada tahun 1954 dalam suratnya kepada Ayatullah Al-Uzma Sayid Hossein Boroujerdi, marji besar Syiah kala itu, menyatakan, “Setelah 40 kali menjalin kontak surat-menyurat dengan Anda (Ayatullah Boroujerdi), kini saya menerima agama Islam dan mazhab Syiah 12 Imam”.

Einstein dalam suratnya itu menjelaskan bahwa Islam lebih utama ketimbang seluruh agama-agama lain dan menyebutnya sebagai agama yang paling sempurna dan rasional. Ditegaskannya, “Jika seluruh dunia berusaha membuat saya kecewa terhadap keyakinan suci ini, niscaya mereka tidak akan mampu melakukannya walau hanya dengan membersitkan setitik keraguan kepada saya”.

Einstein dalam makalah terakhirnya bertajuk Die Erklärung (Deklarasi) yang ditulis pada tahun 1954 di Amerika Serikat dalam bahasa Jerman menelaah teori relatifitas lewat ayat-ayat Alquran dan ucapan Imam Ali bin Abi Thalib as. dalam kitab Nahjul Balaghah. Ia mengatakan, hadis-hadis punya muatan seperti ini tidak bakal di mazhab lain. Hanya mazhab Syiah yang memiliki hadis dari para Imam mereka yang memuat teori kompleks seperti Relativitas. Sayangnya, kebanyakan ilmuannya tidak mengetahui hal itu.

Dalam makalahnya itu, Einstein menyebut penjelasan Imam Ali as tentang perjalanan mikraj jasmani Rasulullah ke langit dan alam malakut yang hanya dilakukan dalam beberapa detik sebagai penjelasan Imam Ali as yang paling bernilai.

Salah satu hadis yang menjadi sandarannya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Allamah Majlisi tentang mikraj jasmani Rasulullah saw. Disebutkan, “Ketika terangkat dari tanah, pakaian atau kaki Nabi menyentuh sebuah bejana berisi air yang menyebabkan air tumpah. Setelah Nabi kembali dari mikraj jasmani, setelah melalui berbagai zaman, beliau melihat air masih dalam keadaan tumpah di atas tanah.” Einstein melihat hadis ini sebagai khazanah keilmuan yang mahal harganya, karena menjelaskan kemampuan keilmuan para Imam Syiah dalam relativitas waktu. Menurut Einstein, formula matematika kebangkitan jasmani berbanding terbalik dengan formula terkenal “relativitas materi dan energi”.

E = M.C² >> M = E : C²

Artinya, sekalipun badan kita berubah menjadi energi, ia dapat kembali berujud semula, hidup kembali.

Dalam suratnya kepada Ayatullah al-Uzma Boroujerdi, sebagai penghormatan ia selalu menggunakan kata panggilan “Boroujerdi Senior”, dan untuk menggembirakan ruh Prof. Hesabi (fisikawan dan murid satu-satunya Einstein asal Iran), ia menggunakan kata “Hesabi yang mulia”. Naskah asli risalah ini masih tersimpan dalam safety box rahasia London (di bagian tempat penyimpanan Prof. Ibrahim Mahdavi), dengan alasan keamanan.

Risalah ini dibeli oleh Prof. Ibrahim Mahdavi (tinggal di London) dengan bantuan salah satu anggota perusahaan pembuat mobil Benz seharga 3 juta dolar dari seorang penjual barang antik Yahudi. Tulisan tangan Einstein di semua halaman buku kecil itu telah dicek lewat komputer dan dibuktikan oleh para pakar manuskrip.

Sumber: eramuslim dan “Bagaimana Sebuah Hadis Membuat Einstein Terkesima?”

Catatan: Semua kembali kepada pembaca! Saya coba cari link dari situs luar ternyata susah. Dari sebuah situs diskusi berbahasa Arab, seperti biasa muncul teori konspirasi di mana para ilmuwan Eropa berusaha menutupinya. Saya juga coba cek daftar publikasi milik Einstein tapi enggak nemu judul “Die Erklarung”, yang ada salah satunya adalah “Erklärung der Perihelbewegung des Merkur aus der allgemeinen Relativitätstheorie” (Explanation of the Perihelion Motion of Mercury from the General Theory of Relativity). Entahlah… tapi saya juga nemu gambar “ayatullah” Einstein :lol:

sumber:http://ejajufri.wordpress.com/


Komentar khusus

abdullah al-musawi berkata:

Tiga tahun lalu saya baca artikel itu. Saya pun terinspirasi untuk melakukan sesuatu. Dg sedikit perubahan dlm konsep gerak, saya temukan suatu rumus yg dpt jelaskan mengapa HAJAR SAKHRAH dpt terapung. Kebetulah di Rajab pd syahadah Imam Musa Kazhim as, sehingga saya beri nama SIMETRI II KAZHIMI.

Waktu berlalu, saya temukan dr ayat 2.261 dan 8.41 dlm bentuk yg aksiomatik, bhw 1/2 x NAFQAH = 1 Tahun Hijriyah x KHUMS, rumus yg lbh umum dan berlaku utk smw hukum fisika.

Cukup alasan utk menyebut simetri (symmetry), dan bukan sekedar postulat spt Einstein.

Segera stlh itu, muncullah SIMETRI I KAZHIMI, “setiap kerangka simetri memiliki bulan”. Istilah “kerangka simetri” menggantikan kerangka inersia Einstein yg hayali. Dg munculnya bulan, maka sebuah ungkapan indah pun muncul, PURNAMA KAZHIMI SINGKIRKAN GERHANA LORENTZ. Dan cita2 Einstein ttg Unified Field Theory (teori medan terpadu) pun terbentuk



Source: Banjarku Umai Bungasnya: Ilmuwan Albert Einstein adalah seorang muslim ( Islam bermazhab Syi'ah...benarkah??!!) http://banjarkuumaibungasnya.blogspot.com/2010/09/ilmuwan-albert-einstein-dalah-seorang.html#ixzz10iwXtcba
Under Creative Commons License: Attribution
READ MORE - Ilmuwan Albert Einstein adalah seorang muslim ( Islam bermazhab Syi'ah...benarkah?

Rabu, 08 September 2010

NIKAH MUT’AH


Mut’ah adalah tradisi pra Islam[13] yang masih dipelihara oleh kelompok Shiah (Imamiyyah[14] dan Ja’fariyyah[15]). Praktek mut’ah walaupun sering disebut sebagai khas Shiah, akan tetapi paktek tersebut secara formal hanya berlaku di Iran[16] dan diamini hanya oleh kelompok tradisionalis Shi’ah. Praktek ini disebut dengan mut’ah karena tujuannya adalah perolehan kenikmatan seksual (istimta) dalam jangka waktu tertentu (ajal) dan ongkos tertentu (ajr) dan , berbeda dengan pernikahan pada umumnya yang bertujuan memperoleh keturunan (procreation).[17]

Bagi pendukung mut’ah, praktek ini dilegitimasi oleh al-Qur’an, surat al-Nisa’ (4): 24

24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


[282]. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283]. Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 2324.
[284]. Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan. "
dan

,[18] walaupun menurut pihak lain, ayat-ayat tersebut tidak berbicara dalam konteks mut’ah. sedangkan teks hadis mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dilakukan pada masa kenabian. Dikatakan, sebagian sahabat Nabi, terutama ketika mereka harus berperang atau melakukan perjalanan dan bermukim beberapa waktu di sebuah kota yang asing, mempraktekkan bentuk pernikahan ini. Bahkan kabar miring menyatakan Nabi pernah melakukannya,[19] akan tetapi pernyataan ini tidak didukung oleh bukti yang kuat. Praktek tersebut terus berlanjut sampai pasca kenabian. Pendukung mut’ah sama sekali tidak melihat adanya larangan langsung dari Nabi, kecuali dari ‘Umar b. Khattab. Larangan ‘Umar terhadap nikah mut’ah pada masa khilafahnya, menurutnya semata-mata kreasi ‘Umar dan lebih didasarkan pada perasaan dislike ‘Umar terhadap ‘Ali yang disebut-sebut juga melakukan mut’ah.[20]

Sedangkan teks yang lain menyatakan bahwa mut’ah memang telah dipraktekkan pada masa kenabian, akan tetapi pada masa itu juga praktek tersebut telah dianulir oleh Nabi Saw., hal ini dapat dilihat dalam kitab Sahih Muslim, Sharh al-Nawawi dan Sahih al-Bukhari. Dalam kitab yang terakhir misalnya, ada riwayat yang dilekatkan pada ‘Ali r.a. yang menyataka bahwa Nabi saw. melarang praktek tersebut pada perang Khaybar.[21]

Terlepas dari informasi teks yang paradoks di atas, nikah mut’ah bukanlah tipikal pernikahan yang diidealisasikan Islam. Persoalannya bukan semata karena pranata tersebut bagian dari tradisi Arab-Jahiliyyah pra-Islam. Akan tetapi karena secara subtansial praktek mut’ah berseberangan dengan visi humanistic Islam terkait dengan relasi egalitarian antara laki-laki dan perempuan. Secara teoritis, nikah mut’ah pada dasarnya adalah transaksi dengan obyek perdagangannya adalah wanita. Dalam bahasa yang lebih kasar mut’ah adalah untuk kepentingan laki-laki, sementara perempuan adalah musta’jar (hired); menyewakan “organ seks-nya” dalam jangka waktu tertentu.[22] Praktek-praktek seperti ini bisa membawa pada perdagangan manusia dan prostitusi terselubung.

Hal tersebut dikuatkan dengan satu informasi bahwa pada masa pra-Islam, mut’ah merupakan bentuk “prostitusi relijius” yang dilaksanakan pada saat upacara festival Mekkah.[23] Schatt juga menyatakan bahwa relasi seksual pada masa tersebut tidak begitu banyak diwarnai oleh praktek poligini, walaupun praktek ini telah dikenal. Hal tersebut dibuktikan dengan longgarnya hubungan antar jenis kelamin, frekuensi perceraian, pergundikan dan juga perbudakan. Semua itu, menurut Schatt, terkadang menyebabkan sulitnya menarik garis yang tegas yang memisahkan antara pernikahan dan prostitusi.[24] Menarik apa yang dinyatakan Richard bahwa paid sex adalah fenomena social yang diatur secara berbeda dalam setiap masyarakat sesuai dengan standar moralitas dan pertimbangan pasar dan kesehatan. Bagaimanapun Islam dan Kristen menegaskan bahwa prostitusi melawan moral secara umum, akan tetapi kenyataannya praktek tersebut ditoleransi, bahkan diorganisasikan oleh masyarakat dengan pertimbangan “kebutuhan” dan menghindari kejahatan.[25]

Menurut Halim Barakat, subordinasi perempuan adalah karakter dasar keluarga Arab. Bentuk-bentuk subordinasi tersebut antara lain dalam regulasi-regulasi yang mengatur perkawinan, perceraian dan kewarisan.[26] Pada dasarnya suatu bentuk pernikahan dalam lingkungan budaya tertentu menggambarkan seberapa jauh lingkungan budaya tersebut memposisikan harkat dan martabat seorang wanita. Pada lingkungan budaya patriarkhal Arab pra-Islam, adalah wajar bila nikah mut’ah merupakan satu pilihan. Secara umum model pernikahan ini menempatkan wanita sebagai obyek. Wanita dalam konteks nikah mut’ah laksana barang dagangan (sil’ah) yang dapat berpindah-pindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Kalau ada yang mengatakan bahwa justru dengan nikah mut’ah harkat wanita bisa terangkat, itu sifatnya sangat artifisial. Nikah mut’ah juga bukan merupakan bentuk solusi relijius bagi kebutuhan biologis manusia – selain karena praktek ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’, yaitu antara lain mengancam kemaslahatan wanita dan keturunan (hifd al-nasl) – hukum Islam telah membuka kran lain, yaitu poligini. Praktek yang terakhir ini pun mempunyai batasan-batasan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan spirit hukum Islam.


PENUTUP

Nikah mut’ah pada dasarnya adalah bagian dari tradisi masyarakat Arab pra Islam. Tradisi ini merupakan bagian dari pengejawantahan kultur sistem kekerabatan patriarkhal yang menjadikan laki-laki sebagai poros. Sementara wanita hanya berada dalam wilayah pinggiran yang sering kali dieksploitasi untuk kepentingan sudut laki-laki, termasuk dalam persoalan sex dan mut’ah. Kemudian Islam datang dengan cita-cita reformasi tradisi Arab.

Reformasi tradisi tersebut bisa bersifat destruktif, apresiatif dan akomodatif terhadap tradisi. Islam memberikan seperangkat nilai ideal dan cita ketuhanan dan ini harus menjadi barometer materi dan bentuk tradisi Arab Islam. secara umum dasar dan tujuan reformasi tersebut adalah mewujudkan social equity dan humanisasi tradisi.

Dalam konteks social equity dan humanisasi tradisi tersebut, Islam pada dasarnya hendak mentransformasikan sistem kekerabatan patrilineal Arab menuju sistem kekerabatan bilateral. Ini bisa dilihat pada aturan-aturan perkawinan dalam al-Qur’an yang bersifat kontradiktif terhadap aturan-aturan perkawinan dalam sistem patrilineal.

Berdasar cita-cita reformasi dan transformasi tradisi di atas, maka mut’ah adalah bagian dari tradisi yang disikapi secara apresiatif dan direkontruksi. Karakter dasar perkawinan Arab dengan berbagai modelnya yang subordinatif terhadap perempuan direkonstruksikan menjadi model perkawinan yang bersifat bilateral yang menekankan pada kesetaraan suami dan istri dan pola interaksi yang humanis sebagaimana ideal – moral al-Qur’an. Ideal-moral inilah yang mengatasi praktek-praktek tradisi yang bersifat lokal dan temporal sebagaimana tradisi mut’ah Arab pra Islam ataupun tradisi dan model perkawinan tertentu pada era kontemporer yang mempunyai subtansi yang sama dengan mut’ah.

http://abidponorogo.wordpress.com/artikel/nikah-mutah/

READ MORE - NIKAH MUT’AH

Senin, 06 September 2010

MENGAPA UMAT KRISTIANI TIDAK DIWAJIBKAN BERKHITAN / SUNAT?

Berdebat masalah wajib tidaknya berkhitan (sunat) dalam ajaran agama Kristen, sebenarnya itu termasuk masalah yang sudah usang. Sebab hal tersebut sudah sangat jelas dan gamblang dalam Alkitab (Bible). Berkhitan (sunat) merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap laki-laki.

Asal mula perintah berkhitan (sunat) dalam kitab Kejadian pasal 17 ayat 9:14 sebagai berikut :

(9) Lagi firman Allah kepada Abraham: "Dari pihakmu, engkau harus memegang perjanjianKu, engkau dan keturunanmu turun-temurun.
(10) Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu Berta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat;
(11) haruslah dikerat kulit khatanmu dan itulah akan menjadi tanda perjanjian antara Aku dan kamu.
(12) Anak yang berumur delapan hari haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu, turun-temurun: balk yang lahir di rumahmu, maupun yang dibeli dengan uang dari salah seorang asing, tetapi tidak termasuk keturunanmu.
(13) Orang yang lahir di rumahmu dan orang yang engkau bell dengan uang harus disunat; maka dalam dagingmulah perjanjian-Ku itu menjadi perjanjian yang kekal
(14) Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang sebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku."

Perintah Allah tersebut sangat jelas dan tegas. Bahkan sanksinya sangat berat bagi yang tidak berkhitan. Ini membuktikan bahwa bersunat hukumnya wajib sebab ancamannya hukuman mati. Tapi hampir dalam setiap perdebatan, umumnya jawaban mereka sebagai berikut: (1) khitan itu ajaran di kitab Perjanjian Lama, bukan dalam kitab Perjanjian Baru; (2) hanya berlaku bagi orang Yahudi; (3) yang penting sunat hati; (4) khitan itu demi untuk kesehatan dll.

Mari kita lihat dan bahas satu persatu jawaban mereka menurut urutan.

1. Memang asal mula perintah Allah mewajibkan berkhitan, tertulis dalam kitab Perjanjian Lama. Tapi perintah Allah tersebut berlaku turun temurun (ayat 12) dan merupakan perjanjian yang kekal. Kekal artinya abadi atau seterusnya (ayat 13). Kenyataannya dalam kitab Perjanjian Baru, Allah tidak pernah membatalkan perintah tersebut. Dan Yesus pun tidak mungkin melarang bersunat, sebab dia sendiri saja bersunat tepat pada hari kedelapan sesuai perintah Tuhannya. "Dan ketika genap delapan hari dan la harus disunatkan, la diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh malaikat sebelum la dikandung ibu-Nya. " (Luk 2:21)


2. Kalau khitan hanya berlaku untuk orang Yahudi saja, berarti misi Yesus hanya untuk orang Yahudi juga. Jika demikian, mengapa mengikuti agama untuk orang Yahudi saja? Padahal orang di luarYahudi juga wajib mengikuti hukum Musa. Tetapi beberapa orang dari golongan Farisi, yang telah menjadi percaya, datang dan berkata: Orang-orang bukan Yahudi harus disunat dan diwajibkan untuk menuruti hukum Musa." (Kis 15:5)

3. Umumnya dikatakan bahwa sunat daging sudah tidak berlaku lagi, sebab sudah diganti oleh Yesus dengan "sunat hati". Padahal sunat daging dan sunat hati adalah dua perintah yang berbeda, yang sama-sama tertulis dalam kitab yang sama pula, yaitu Taurat Musa, yang satu sama lainnya tidak saling mengganti.

4. Alasan demi untuk kesehatan pun keliru, sebab orang berkhitan (sunat), bukan karena demi kesehatan, tapi karena mengikuti perintah Allah. Adapun hikmahnya yaitu demi kesehatan.


Alasan Tidak Wajib Khitan

Jawabannya sederhana saja yaitu karena Paulus melarang bersunat.

"Sesungguhnya, aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu. " (Gal 5:2)

"Sebab bagi orang-orang yang ada di dalam Krislus Yesus hal bersunat atau tidak bersunat tidak mempunyai sesuatu arti, hanya iman bekerja oleh kasih. " (Gal 5:6)

"Kalau seorang dipanggil dalam keadaan bersunat, janganlah ia berusaha meniadakan tanda-tanda sunat itu. Dan kalau seorang dipanggil dalam keadaan tidak bersunat, janganlah ia mau bersunat. Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah. (1 Kor 7:1819)

sejarah khitan juga ada pada bangasa terdahulu..... dan bisa di buktikan dg di temukannay bukti relisf yang mnerangkan tentnag khitan lihta

http://www.alqowamgroup.com/index.php?option=com_content&view=article&id=130:keajaiban-khitan&catid=16:kesehatan-dan-thibbun-nabawi&Itemid=69
READ MORE - MENGAPA UMAT KRISTIANI TIDAK DIWAJIBKAN BERKHITAN / SUNAT?