Rabu, 08 September 2010

NIKAH MUT’AH


Mut’ah adalah tradisi pra Islam[13] yang masih dipelihara oleh kelompok Shiah (Imamiyyah[14] dan Ja’fariyyah[15]). Praktek mut’ah walaupun sering disebut sebagai khas Shiah, akan tetapi paktek tersebut secara formal hanya berlaku di Iran[16] dan diamini hanya oleh kelompok tradisionalis Shi’ah. Praktek ini disebut dengan mut’ah karena tujuannya adalah perolehan kenikmatan seksual (istimta) dalam jangka waktu tertentu (ajal) dan ongkos tertentu (ajr) dan , berbeda dengan pernikahan pada umumnya yang bertujuan memperoleh keturunan (procreation).[17]

Bagi pendukung mut’ah, praktek ini dilegitimasi oleh al-Qur’an, surat al-Nisa’ (4): 24

24. dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki[282] (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian[283] (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


[282]. Maksudnya: budak-budak yang dimiliki yang suaminya tidak ikut tertawan bersama-samanya.
[283]. Ialah: selain dari macam-macam wanita yang tersebut dalam surat An Nisaa' ayat 2324.
[284]. Ialah: menambah, mengurangi atau tidak membayar sama sekali maskawin yang telah ditetapkan. "
dan

,[18] walaupun menurut pihak lain, ayat-ayat tersebut tidak berbicara dalam konteks mut’ah. sedangkan teks hadis mengatakan bahwa nikah mut’ah telah dilakukan pada masa kenabian. Dikatakan, sebagian sahabat Nabi, terutama ketika mereka harus berperang atau melakukan perjalanan dan bermukim beberapa waktu di sebuah kota yang asing, mempraktekkan bentuk pernikahan ini. Bahkan kabar miring menyatakan Nabi pernah melakukannya,[19] akan tetapi pernyataan ini tidak didukung oleh bukti yang kuat. Praktek tersebut terus berlanjut sampai pasca kenabian. Pendukung mut’ah sama sekali tidak melihat adanya larangan langsung dari Nabi, kecuali dari ‘Umar b. Khattab. Larangan ‘Umar terhadap nikah mut’ah pada masa khilafahnya, menurutnya semata-mata kreasi ‘Umar dan lebih didasarkan pada perasaan dislike ‘Umar terhadap ‘Ali yang disebut-sebut juga melakukan mut’ah.[20]

Sedangkan teks yang lain menyatakan bahwa mut’ah memang telah dipraktekkan pada masa kenabian, akan tetapi pada masa itu juga praktek tersebut telah dianulir oleh Nabi Saw., hal ini dapat dilihat dalam kitab Sahih Muslim, Sharh al-Nawawi dan Sahih al-Bukhari. Dalam kitab yang terakhir misalnya, ada riwayat yang dilekatkan pada ‘Ali r.a. yang menyataka bahwa Nabi saw. melarang praktek tersebut pada perang Khaybar.[21]

Terlepas dari informasi teks yang paradoks di atas, nikah mut’ah bukanlah tipikal pernikahan yang diidealisasikan Islam. Persoalannya bukan semata karena pranata tersebut bagian dari tradisi Arab-Jahiliyyah pra-Islam. Akan tetapi karena secara subtansial praktek mut’ah berseberangan dengan visi humanistic Islam terkait dengan relasi egalitarian antara laki-laki dan perempuan. Secara teoritis, nikah mut’ah pada dasarnya adalah transaksi dengan obyek perdagangannya adalah wanita. Dalam bahasa yang lebih kasar mut’ah adalah untuk kepentingan laki-laki, sementara perempuan adalah musta’jar (hired); menyewakan “organ seks-nya” dalam jangka waktu tertentu.[22] Praktek-praktek seperti ini bisa membawa pada perdagangan manusia dan prostitusi terselubung.

Hal tersebut dikuatkan dengan satu informasi bahwa pada masa pra-Islam, mut’ah merupakan bentuk “prostitusi relijius” yang dilaksanakan pada saat upacara festival Mekkah.[23] Schatt juga menyatakan bahwa relasi seksual pada masa tersebut tidak begitu banyak diwarnai oleh praktek poligini, walaupun praktek ini telah dikenal. Hal tersebut dibuktikan dengan longgarnya hubungan antar jenis kelamin, frekuensi perceraian, pergundikan dan juga perbudakan. Semua itu, menurut Schatt, terkadang menyebabkan sulitnya menarik garis yang tegas yang memisahkan antara pernikahan dan prostitusi.[24] Menarik apa yang dinyatakan Richard bahwa paid sex adalah fenomena social yang diatur secara berbeda dalam setiap masyarakat sesuai dengan standar moralitas dan pertimbangan pasar dan kesehatan. Bagaimanapun Islam dan Kristen menegaskan bahwa prostitusi melawan moral secara umum, akan tetapi kenyataannya praktek tersebut ditoleransi, bahkan diorganisasikan oleh masyarakat dengan pertimbangan “kebutuhan” dan menghindari kejahatan.[25]

Menurut Halim Barakat, subordinasi perempuan adalah karakter dasar keluarga Arab. Bentuk-bentuk subordinasi tersebut antara lain dalam regulasi-regulasi yang mengatur perkawinan, perceraian dan kewarisan.[26] Pada dasarnya suatu bentuk pernikahan dalam lingkungan budaya tertentu menggambarkan seberapa jauh lingkungan budaya tersebut memposisikan harkat dan martabat seorang wanita. Pada lingkungan budaya patriarkhal Arab pra-Islam, adalah wajar bila nikah mut’ah merupakan satu pilihan. Secara umum model pernikahan ini menempatkan wanita sebagai obyek. Wanita dalam konteks nikah mut’ah laksana barang dagangan (sil’ah) yang dapat berpindah-pindah dari tangan yang satu ke tangan yang lain. Kalau ada yang mengatakan bahwa justru dengan nikah mut’ah harkat wanita bisa terangkat, itu sifatnya sangat artifisial. Nikah mut’ah juga bukan merupakan bentuk solusi relijius bagi kebutuhan biologis manusia – selain karena praktek ini bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’, yaitu antara lain mengancam kemaslahatan wanita dan keturunan (hifd al-nasl) – hukum Islam telah membuka kran lain, yaitu poligini. Praktek yang terakhir ini pun mempunyai batasan-batasan sedemikian rupa sehingga tidak bertentangan dengan spirit hukum Islam.


PENUTUP

Nikah mut’ah pada dasarnya adalah bagian dari tradisi masyarakat Arab pra Islam. Tradisi ini merupakan bagian dari pengejawantahan kultur sistem kekerabatan patriarkhal yang menjadikan laki-laki sebagai poros. Sementara wanita hanya berada dalam wilayah pinggiran yang sering kali dieksploitasi untuk kepentingan sudut laki-laki, termasuk dalam persoalan sex dan mut’ah. Kemudian Islam datang dengan cita-cita reformasi tradisi Arab.

Reformasi tradisi tersebut bisa bersifat destruktif, apresiatif dan akomodatif terhadap tradisi. Islam memberikan seperangkat nilai ideal dan cita ketuhanan dan ini harus menjadi barometer materi dan bentuk tradisi Arab Islam. secara umum dasar dan tujuan reformasi tersebut adalah mewujudkan social equity dan humanisasi tradisi.

Dalam konteks social equity dan humanisasi tradisi tersebut, Islam pada dasarnya hendak mentransformasikan sistem kekerabatan patrilineal Arab menuju sistem kekerabatan bilateral. Ini bisa dilihat pada aturan-aturan perkawinan dalam al-Qur’an yang bersifat kontradiktif terhadap aturan-aturan perkawinan dalam sistem patrilineal.

Berdasar cita-cita reformasi dan transformasi tradisi di atas, maka mut’ah adalah bagian dari tradisi yang disikapi secara apresiatif dan direkontruksi. Karakter dasar perkawinan Arab dengan berbagai modelnya yang subordinatif terhadap perempuan direkonstruksikan menjadi model perkawinan yang bersifat bilateral yang menekankan pada kesetaraan suami dan istri dan pola interaksi yang humanis sebagaimana ideal – moral al-Qur’an. Ideal-moral inilah yang mengatasi praktek-praktek tradisi yang bersifat lokal dan temporal sebagaimana tradisi mut’ah Arab pra Islam ataupun tradisi dan model perkawinan tertentu pada era kontemporer yang mempunyai subtansi yang sama dengan mut’ah.

http://abidponorogo.wordpress.com/artikel/nikah-mutah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar